Kamis, 02 Februari 2012

Wayang Leluhur Bangsa

WAYANG KARYA ASLI LELUHUR BANGSA Sebagai Falsafah “Gumêlaring Bawáná”


Dalam bahasa Jawa, kata wayang berarti “bayangan”. Ditinjau dari perspektif filosofi wayang dapat diartikan sebagai bayangan atau cerminan seluruh sifat-sifat yang ada dalam diri manusia, seperti sifat dur angkara murka, dan segala macam sifat kebaikan (positif).
Wayang digunakan sebagai instrumen untuk memperagakan suatu cerita kehidupan manusia di jagad raya, serta gambaran khayangan, atau alam gaib. Dimainkan oleh seorang dalang yang dibantu oleh tim yang terdiri penyumping atau asisten dalang, niyaga atau orang-orang penabuh gamelan dan beberapa waranggana sebagai pelantun tembang. Dalang menjalankan fungsi sentral sebagai sutradara sekaligus pelaku utama jalannya pagelaran secara keseluruhan. Dalanglah yang memimpin semua kru-nya untuk “melebur” dalam alur lakon yang disajikan. Dalam adegan yang kecil-kecilpun dan spontanitas harus ada kekompakan di antara semua kru. Seorang dalang harus menguasai berbagai macam gending atau aransemen alat musik gamelan, dan syarat mutlak bagi seorang dalang menghayati masing-masing karakter dari semua tokoh dalam pewayangan. Desain lantai yang digunakan dalam pagelaran wayang berupa garis lurus, dan dalam memainkan wayang, dalang menghadap ke arah kelir (batang pohon pisang) yang digunakan untuk menancapkan wayang secara berjajar. Jajaran wayang di bagi dua secara berhadapan, ada di sebelah kanan dan sebelah kiri dalangnya. Jajaran wayang di sebelah kiri dalang merupakan kumpulan tokoh tokoh atau satria-satria pembela kebenaran dan kebajikan, sedangkan jajaran wayang sebelah kanan adalah tokoh-tokoh angkara murka. Mengapa para kesatria pembela kebenaran letaknya di sebelah kiri dalang, hal itu tidak lain karena cara menonton wayang yang benar adalah dari balik (belakang) layar. Yang ditonton bayangannya, akan lebih terasa sangat eksotis. Walaupun demikian ketentuan ini tidak mutlak. Untuk memperagakan berbagai dekorasi dan pergantian sub-lakon atau adegan biasanya dipakai simbol berupa gunungan. Gunungan merupakan wayang berbentuk besar di bawah, bagian atasnya meruncing seperti tumpeng. Di dalam gunungan terdapat berbagai macam gambar binatang, misalnya banteng, kera, ular, burung, yang berada dalam cabang-cabang pohon besar. Bahkan kadang tergambar wajah menyerupai topeng raksasa. Gunungan sebagai simbol dari wilayah, atau keadaan alam semesta beserta isinya. Pertunjukan wayang lazimnya dilakukan pada waktu malam hari, namun bisa juga dilakukan pada siang hari, bahkan sehari semalam. Lama pagelaran wayang untuk satu lakon cerita biasanya sekitar 7 sampai 8 jam. Dimulai dari jam 21.00 hingga subuh jam 05.00. Instrumen musik gamelan yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang secara lengkap terdiri dari dua kelompok rangkaian gamelan yakni pelog dan slendro. Namun bila ingin digunakan rangkaian gamelan yang sederhana digunakanlah jenis slendro saja. Selain waranggana atau beberapa vokalis putri yang mengiringi dalang, masih ada vokalis pria yang disebut penggerong atau wiraswara, yang terdiri empat hingga enam orang. Wiraswara bertugas mengiringi waranggana dengan suara koor terkadang sahut-sahutan. Wiraswara bisa disediakan khusus, atau bisa juga dirangkap oleh niyaga atau penabuh gamelan sekaligus menjadi penggerong.

Asal-usul Wayang

Mengenai asal mula timbulnya wayang di Indonesia, terdapat berbagai pendapat dari para ahli yang dapat digunakan sebagai pedoman. Menurut kitab sejarah Jawa Kuna di perpustakaan kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, pertunjukan wayang kulit asal mulanya menggunakan peralatan sederhana, namun pakem aslinya masih regeneratif hingga sekarang, yakni dengan menggunakan wayang berbahan kulit kerbau diukir dengan tatah, menggunakan kelir, blencong, kepyak, kotak dan lain sebagainya. Menurut ahli sejarah Kraton Yogyakarta yang dikenal waskita pula, kesenian wayang sudah dapat dipastikan berasal dan merupakan hasil karya bangsa nusantara, alias Indonesia asli di buat orang-orang di Jawa. Kesenian wayang ini mulai ada sejak jauh sebelum kebudayaan Hindu datang. Kesenian wayang kulit pada mulanya merupakan salah satu bentuk upacara keagamaan Jawa Kuna, atau upacara sakral yang berhubungan dengan sistem kepercayaan waktu itu, yakni untuk menuju “Gusti Murbeng Dumadi” (Tuhan pencipta alam semesta). Upacara wayang dilakukan di malam hari oleh seorang medium yang konon disebut saman atau dilakukan sendiri oleh kepala keluarga. Lakon yang digelar  mengambil cerita-cerita dari leluhur atau nenek moyang. Upacara ini dimaksudkan untuk memanggil dan berkomunikasi dengan arwah nenek moyang. Tujuannya adalah memohon pertolongan (doa) dan restunya apabila keluarga itu akan memulai suatu hajat atau tugas, demikian pula bila telah selesai menjalankan tugas tertentu yang berat. Upacara pagelaran wayang diperkirakan timbul pada jaman Neolithikum, atau pada ± tahun 1500 Sebelum Masehi. Dalam perkembangannya, upacara ini kemudian dikerjakan oleh seorang seniman wayang yang sudah profesional, yakni Dalang.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Free Automatic Google Backlinks - SEO
Google PageRank Checker Powered by  MyPagerank.Net

ComScore
make-money-468x60